RABU, 21 Oktober 2020, saya diundang Webinar oleh Pusat Kajian Halal (PKH) ITB Ahmad Dahlan Jakarta dalam diskusi tentang “Bedah RUU Cipta Kerja: Perspektif Kajian Produk Halal”. Di tengah kontroversi pengesahan RUU ini menjadi UU sejak 5 Oktober 2020, ingatan saya ada dua.
Pertama, teringat cerita-cerita sufi Jalaludin Rumi, yang sudah lama populer di Tanah Air, yang terajut dalam The Elephant in The Dark House, yang dimuat dalam Mathnawi.
Syahdan, ada suatu kota, di mana semua penduduknya buta. Seorang raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan bertenda di gurun pasir. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum. Keperkesaan gajah itu menjadi “viral”, hingga berita itu terdengar oleh orang-orang buta di kota itu.
Tampaknya, penduduk kota itu sangat antusias ingin memahami gajah itu, seperti apa? Beberapa dari mereka yang buta itu pun berlari untuk ingin membuktikan apa sejatinya gajah itu. Mereka ini menafsirkan sesuai prasangkanya.
Karena tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya. Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi mengklaim bahwa mereka sudah paham, apa itu gajah.
Sekembalinya ke kota, orang-orang lain yang hendak tahu segera mengerubungi mereka untuk memperoleh informasi tentang keperkasaan gajah. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka pun bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan. Maka tafsir pun mulai terhembus. Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Jawabnya, “Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan lebar seperti permadani.”
Kemudian, orang yang meraba belalai gajah berkata, “Aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip pipa lurus bergema, mengerikan dan suka merusak”. Terakhir, orang yang memegang kaki gajah berkata, “Gajah itu kuat dan tegak, seperti tiang”.
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian saja, dan kemudian mengembar-gemborkanlah temuan dan tafsirnya masing-masing. Kemudian, orang-orang lain yang mendengar cerita itu dari penafsir pertama, kemudian ditafsirkan lagi secara berantai. Muncul pelbagai macam konstruksi narasi, yang tidak valid.
Maka, seperti itulah cerita dan narasi tentang RUU Cipta Kerja itu. Bayangkan, RUU itu adalah RUU raksasa ibarat gajah, yang merajut 79 UU dengan 1.239 pasal, 15 bab dan 13 kementerian/Lembaga terkait. Begitu juga tentang UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang masuk dalam daftar 79 UU itu.
Kedua, saya teringat cerita “Cinta Bertepuk Sebelah Tangan” antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso dalam membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Seperti itulah, 1.000 candi yang ingin dikebut Bandung Bondowo sebelum matahari terbit. Keinginan untuk segera mengesahkan RUU Cipta Kerja, akhirnya babak-belur dan melahirkan sumpah-serapah.
Dalam legenda Jawa kuno, yaitu kisah percintaan mereka dianggap sebagai asal muasal terbentuknya kompleks candi di Yogyakarta.
Syahdan, hiduplah seorang pangeran yang sakti mandraguna bernama Bandung Bondowoso, sang pangeran adalah putra dari raja besar Damar Maya yang menguasai kerajaan Pengging.
Sayang sekali, kerajaan Pengging bermusuhan dengan kerajaan Baka yang dipimpin oleh seorang rasaksa bernama Prabu Baka, meski rasaksa, Prabu Baka memiliki seorang putri nan cantik jelita bernama Roro Jonggrang.
Dalam sebuah pertempuran antara kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka, sang Prabu Baka pun tewas dibunuh oleh Bandung Bondowoso, hingga kerajaan Baka pun dikuasainya. Datanglah rombongan pangeran Bandung Bondowoso ke Kerajaan Baka, di sanalah ia melihat Roro Jonggrang dan terpikat akan kecantikannya dan ingin menikahinya.
Tapi Roro Jonggrang tentu tak sudi menikah dengan orang yang telah membunuh sang ayah, kemudian ia pun membuat tipu muslihat.
Karena Bandung Bondowoso terus membujuk dan memaksa, akhirnya sang putri bersedia dipersunting. Namun, dengan dua syarat yang mustahil untuk dikabulkan. Syarat pertama adalah pembuatan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda. Syarat kedua, pembangunan Seribu Candi hanya dalam waktu satu malam. Bandung Bondowoso menyanggupi kedua syarat tersebut.
Sang pangeran berhasil menyelesaikan sumur Jalatunda berkat kesaktiannya. Setelah sumur selesai, Rara Jonggrang berusaha memperdaya Sang Pangeran agar bersedia turun ke dalam sumur dan memeriksanya. Setelah Bandung Bondowoso turun, sang putri memerintahkan Gupala untuk menutup dan menimbun sumur dengan batu.
Akan tetapi, Bandung Bondowoso berhasil keluar dengan cara mendobrak timbunan batu berkat kesaktiannya. Bondowoso sempat marah, namun segera tenang karena kecantikan dan bujuk rayu sang putri.
Untuk mewujudkan syarat kedua, sang pangeran memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari perut Bumi. Dengan bantuan makhluk halus ini, Sang Pangeran berhasil menyelesaikan 999 Candi.
Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia juga memerintahkan agar gundukan jerami dibakar di sisi timur.
Mengira bahwa pagi telah tiba dan sebentar lagi matahari akan terbit, para makhluk halus lari ketakutan bersembunyi masuk kembali ke perut Bumi. Akibatnya, hanya 999 Candi yang berhasil dibangun sehingga usaha Bandung Bondowoso gagal.
Setelah mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Rara Jonggrang agar menjadi batu. Sang putri berubah menjadi arca terindah untuk menggenapi Candi terakhir.
Seperti itulah cerita RUU Cipta Kerja…. Tapi pertarungan belum usai. Karena semua sumpah serapah itu akan dialihkan ke Mahkamah Konsitusi (MK) untuk me-JR-kan UU Cipta Kerja jika RUU itu sudah ditandatangani Presiden untuk diundangkan.